<p> KIM SANGEH-Tradisi ini sudah berlangsung ribuan tahun di Bali, semenjak lembaga perkawinan masuk dalam kategori pawongan yakni pengaturan segala sesuatu yang berhubungan dengan manusia. Mulai dari kehamilannya, kelahiran, menginjak dewasa, kawin, tua, sakit dan kemudian mati. Ngejot tumpeng ini berlangsung setiap 6 bulan sekali. </p> <p> Jadi bisa 2 kali dalam setahun. Bulannya tidak tentu, karena di Bali yang dipergunakan adalah perhitungan yang rumit yang disebut pawukon, perhitungan dari 3 hari yang disebut dengan pasah beteng kajeng, dengan 5 hari, yakni umanis paing pon wage kliwon digabungkan lagi dengan wuku yang berganti setiap minggu. Mulai dari wuku sinta sampai watugunung. Ketiganya akan datang setiap 360 hari sekali. Ngejot tumpeng ini bertepatan dengan buda manis galungan.</p> <p> Perayaan kemenangan dharma melawan adharma. Pada hari suci yang dirayakan diseluruh Bali ini, setiap pasangan pengantin baru akan mendapatkan kejutan dari seluruh warga banjar, komunitas terkecil  susunan masyarakat. Lebih tinggi adalah desa adat, kecamatan dan kemudian terakhir kabupaten.</p> <p> "Tak jelas siapa yang pertama melakukan ngejot tumpeng ini, kakek saya juga sudah melakukannya juga buyut dan yang lebih tua lagi," tutur Mangku Wirya 68 tahun pemuka masyarakat Munggu Bali. Setidaknya ada 3 kabupaten di Bali yang melakukan tradisi ini, yakni Badung, Gianyar dan Tabanan, di kabupaten lain namanya mungkin berbeda.</p> <p> "Intinya adalah, pada hari galungan, seluruh keluarga akan memberi 3 tumpeng dan 1 sate lilit kepada pengantin baru yang kawin sepanjang 6 bulan sebelum galungan," tutur Mangku Wirya lagi.</p> <p> Pemilik pengantin baru, yakni keluarga yang anaknya baru saja menikah pada hari itu menghias rumah dengan penuh antusias, ada penjor antenan yang berhiaskan lamak sepanjang 10 meter. Ini biasanya terlihat di Ubud. Sedangkan di Badung dan Gianyar yang mencolok adalah adanya gapura yang dihias dengan janur melengkung di depan rumah.</p> <p> Pengantin biasanya semenjak pagi hari sudah bersiap untuk menyambut warga banjar yang akan datang. Mereka menggunakan pakaian adat yang disebut payas madya. Menggunakan kain kemben masih baru, rambut disanggul dengan untaian kembang kenangan.</p> <p> "Kembang warna hijau itu simbul keabadian, karena sampai sudah layupun tetap menebar bau harum semerbak," jelas Mangku Wirya. Sedangkan pengantin pria menggunakan destar batik yang ketat menempel di kepala. Maknanya adalah setelah kawin dan memiliki keluarga dia akan dengan trengginas mengikat erat semua rahasia, kehidupan pribadi dan kehormatan sang istri agar tidak diberi cap suami lebay oleh kerabatnya.</p> <p> Selain pakaian, keluarga pengantin juga menyiapkan persembahan berupa tape dan uli putih sebagai buah tangan bagi mereka yang datang untuk ngejot tumpeng. Ini maknanya supaya kekerabatan mereka senantiasa manis dan semakin lengket seperti tapi uli.</p> <p> Sedangkan bagi warga dan kerabat yang ada hubungan keluarga dengan sang pengantin pada hari itu, sekitar jam 8 pagi sudah bersiap dengan barang bawaannya. Selain tumpeng sebanyak 3 buji serta sate lilit 1 biji, mereka juga melengkapinya dengan pisang dan buah yang disusun dalam wadah bernama bokoran.</p> <p> Bokoran ini pada jaman dulu bahannya dari perak, beratnya sampai 2 kilo. Namun karena harga perak sempat meroket sampai 1 juta pergram, kebanyakan bokor itupun pindah tangan. "Sekarang ini bokor diganti dengan kayu diukir dan diberi warna keemasan agar tetap terlihat semangat dan keindahannya," ujar Mangku Wirya lagi.</p> <p> Secara beriringan tetangga sebanjar akan datang kerumah pengantin. Mereka menyerahkan barang bawaannya yang diletakkan dalam bangunan yang disebut bale delod. Disana barang bawaan itu dijejerkan untuk nantinya akan dihaturkan kepada sang pencipta. Yang intinya bahwa pengantin telah resmi diterima sebagai warga baru oleh tengga dan kerabat mereka.</p> <p> "Untuk membuat nasi tumpeng itu tidak boleh diambil dari hidangan untuk keluarga, mereka harus memasak sendiri sekitar 2 gelas beras secara terpisah," tambah Mangku Wirya. Sedangkan sate lilit biasanya bahannya diambil dari sate lilit untuk galungan. Tapi bila sate lilit untuk dijadikan perjamuan keluarga menggunakan sereh sebagai tusukannya, sate lilit untuk pengantin baru menggunakan pelepah daun aren.</p> <p> "Ini dimaksudkan agar kedua penganten bisa merasakan selain ada gurih sate lilit tapi tetap berpegang pada hukum agama dan negara," tuturnya.</p> <p> Maka pada hari itu setiap wilayah yang ada pengantin barunya akan sibuk dengan acara ngejot tumpeng. Di satu rumah kadang berkumpul sampai 100 orang sekaligus, bisa dibayangkan bagaimana kemeriahannya. Kemudian bila ada 3 pengantin sekaligus, kesibukannya akan semakin terasa, karena mereka bolak balik kerumah untuk mengambil tumpeng dan sate lilit.</p> <p> "Mengantarnya tidak boleh sekaligus, artinya dalam satu bokoran ditumpuk untuk 2 pengantin, ini dilarang oleh awig," ungkap Mangku Wirya. Kesibukan ini akan berlangsung sampai tengah hari.</p> <p> Kemudian keluarga pengantin akan mengumpulkan semua tumpeng dalam satu tempat begitu juga sate lilit.</p> <p> "Kadangkala seorang pengantin bisa mendapatkan satu kwintal tumpeng, ini bila dikeringkan bisa untuk makanan itik selama sebulan," ujar Mangku Wirya lagi. Dan itulah memang tujuan ngejot tumpeng, membantu pengantin baru agar tidak kesulitan dalam hal sandang pangan.(006KIMSGH)</p>
TRADISI NGEJOT TUMPENG
28 Dec 2018